Jakarta, AIAnews.id | Perdebatan mengenai hakikat keadilan telah berlangsung sejak lama, melahirkan berbagai teori yang mencoba mendefinisikannya. Dua aliran besar, yaitu teori hukum alam dan teori hukum positif, menawarkan perspektif yang kontras dalam memahami keadilan.
Teori hukum alam, sebagaimana dikemukakan oleh para filsuf seperti Plato dan Thomas Aquinas, berpandangan bahwa hukum merupakan refleksi dari nilai-nilai universal dan kodrat manusia. Keadilan, dalam konteks ini, dimaknai sebagai penerapan prinsip-prinsip moral yang melekat dalam alam semesta. Sebaliknya, teori hukum positif, yang dipelopori oleh filsuf hukum seperti John Austin dan Hans Kelsen, menekankan bahwa hukum merupakan produk dari kesepakatan dan aturan yang dibuat oleh manusia. Keadilan, dalam pandangan ini, didefinisikan sebagai hasil dari proses legislasi dan penerapan hukum yang sah.
Perbedaan mendasar antara kedua teori ini terletak pada sumber dan validitas hukum. Bagi teori hukum alam, hukum berakar pada prinsip-prinsip moral universal yang berlaku di luar manusia, dan validitasnya berasal dari kesesuaian dengan nilai-nilai tersebut. Sementara teori hukum positif menekankan bahwa validitas hukum berasal dari sumber formalnya, seperti undang-undang atau keputusan pengadilan, tanpa terikat pada nilai-nilai moral tertentu.
Dalam konteks ini, pemikiran Aristoteles tentang keadilan distributif dan keadilan komutatif menjadi relevan untuk memahami aplikasi praktis dari kedua teori ini. Keadilan distributif, sebagaimana dijelaskan dalam Nicomachean Ethics, menuntut pembagian sumber daya dan keuntungan secara adil sesuai dengan kontribusi masing-masing individu.
Pemikiran ini dapat dihubungkan dengan teori hukum alam, yang menekankan pembagian yang adil berdasarkan nilai-nilai moral seperti persamaan dan keadilan intrinsik. Sementara keadilan komutatif, yang menuntut keadilan dalam pertukaran dan hubungan antar individu, dapat dihubungkan dengan teori hukum positif, yang menekankan keadilan sebagai hasil dari kesepakatan dan aturan yang dibuat secara formal.
Contoh konkrit dalam kehidupan nyata dapat membantu menjelaskan perbedaan ini. Misalkan dalam kasus pembagian warisan, teori hukum alam mungkin menekankan pembagian yang adil berdasarkan kebutuhan dan kontribusi masing-masing ahli waris, sementara teori hukum positif akan berfokus pada pembagian sesuai dengan aturan hukum waris yang berlaku.
Meskipun berbeda, kedua teori ini tidaklah saling bertentangan. Teori hukum positif dapat memanfaatkan prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam teori hukum alam untuk membentuk aturan hukum yang adil dan beradab. Sementara itu, teori hukum alam dapat menemukan legitimasi dalam sistem hukum positif yang mengakui nilai-nilai moral universal.
Perdebatan mengenai hakikat keadilan terus berlanjut, dan masing-masing teori memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemahaman yang komprehensif tentang kedua teori ini, serta penerapannya dalam realitas kehidupan, akan membantu kita dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.

